Bayangkan sebuah produk pakaian yang tidak hanya enak dipandang, tetapi juga nyaman dan aman digunakan, serta diproduksi dari material berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Bayangkan sebuah produk pakaian yang tidak hanya berkualitas tinggi, tetapi juga terjangkau. Selain itu, para pekerja yang membuat produk pakaian tersebut juga turut dijamin kesejahteraannya.
Itu lah cita-cita yang diaminkan oleh prinsip "sustainable fashion" atau mode berkelanjutan.
Viscose Rayon dalam Sustainable Fashion
![]() |
Pakaian dari serat viscose rayon (Sumber: eco-cosy.com) |
Ketika berbicara tentang sustainable fashion, setiap aspek mulai dari proses produksi hingga produk sampai ke tangan konsumen harus dilandasi oleh prinsip keberlanjutan (sustainability).
Poin awal dari proses produksi adalah pemilihan serta pengadaan bahan baku yang berkualitas dan ramah lingkungan. Di sinilah serat viscose rayon berperan penting dan menjadi game changer dalam industri sustainable fashion.
Lalu, apa sebenarnya serat viscose rayon itu? Mengapa serat ini bisa mendapat tempat khusus dan cepat naik daun dalam industri sustainable fashion?
Mari kita telusuri bersama dalam artikel ini, dari awal mula penemuan viscose rayon hingga potensi besar yang dimilikinya dalam mendefinisikan masa depan sustainable fashion di kancah internasional.
Sejarah Viscose Rayon
|
Viscose Rayon pada Museum Viscose Perancis/ Musée de la viscose (Sumber: wikimedia.org) |
Tahu kah kamu kalau serat tekstil mewah seperti viscose rayon, berasal dari elemen yang sama dengan elemen untuk membuat kertas koran?
Viscose rayon, atau yang populer dengan sebutan "viscose" atau "rayon" saja, adalah serat regeneratif yang dihasilkan dari selulosa, yaitu komponen utama dari dinding sel tumbuhan.
Selulosa yang menghasilkan serat viscose biasanya berasal dari kayu yang diambil dari jenis pohon seperti pinus, cemara, atau bambu, yang kemudian dilarutkan dan diregenerasi menjadi serat. Viscose rayon adalah serat yang halus, lembut, dan dapat menyerap air dengan baik, sehingga ideal untuk beragam produk tekstil.
![]() |
Charles Cross dan Edward Bevan (Sumber: Plastiquarian.com) |
Penemuan proses viscose dimulai pada tahun 1855 oleh George Audemars, tetapi proses tersebut masih belum sempurna. Kemudian, di tahun 1890-an, proses pembuatan viscose disempurnakan oleh Charles Frederick Cross, Edward John Bevan, dan Clayton Beadle di Inggris. Mereka mematenkan proses ini pada tahun 1894.
Melalui serangkaian proses kimia menggunakan karbon disulfida dan alkali, mereka berhasil menciptakan larutan kimia kental bernama 'xanthate'. Kemudian, xanthate dilarutkan ke dalam alkali yang lebih banyak lagi, untuk menghasilkan larutan kental, berwarna kuning dengan tekstur seperti sirup, yang dikenal sebagai "viscose".
Larutan viscose tersebut kemudian diekstrusi melalui lubang-lubang kecil (nozzle) ke dalam larutan asam sulfat untuk membentuk filamen. Saat larutan viscose diekstrusi ke dalam lingkungan asam, xanthate diregenerasi kembali menjadi selulosa, membentuk filamen rayon yang dikenal dengan "viscose rayon".
"Rayon" dalam bahasa Prancis artinya "cahaya", diberi nama sedemikian karena kilauannya yang menyerupai cahaya. Rayon yang diproses dengan larutan viscose ini populer dengan sebutan viscose rayon hingga sekarang.
Mengapa Viscose Rayon Cocok Menjadi Alternatif bagi Sutra dan Katun?
-
Memiliki kualitas yang setara dengan sutra, tetapi lebih murah
Tidak memerlukan waktu lama bagi viscose rayon untuk menggaet popularitas dalam industri fashion. Kemiripannya dengan sutra, tetapi dengan biaya produksi yang lebih rendah, menjadikan viscose rayon sebagai primadona industri fashion. Mulai dari gaun mewah hingga kemeja sehari-hari, dapat dibuat dari viscose rayon dengan kualitas tinggi.
-
Proses produksinya lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi
kapas
Viscose rayon cocok dijadikan sebagai alternatif serat alami seperti kapas. Dibandingkan dengan kapas, produksi viscose memerlukan lahan yang lebih kecil, sehingga otomatis dampak lingkungan dari penggunaan air yang berlebihan dan pestisida dapat berkurang. Hal ini selaras dengan prinsip sustainable fashion.
-
Biodegradable
Selain itu, keunggulan lain dari viscose rayon dalam sustainable fashion, adalah sifatnya yang biodegradable. Artinya, setelah selesai digunakan, produk berbasis viscose rayon dapat terurai dengan lebih cepat di tanah, sehingga mengurangi kuantitas limbah tekstil.
-
Fleksibel
Viscose rayon juga dapat ditenun atau dirajut untuk menghasilkan berbagai jenis produk tekstil, mulai dari kain yang ringan hingga yang berat, sehingga penggunaannya cukup fleksibel. Viscose rayon juga menyerap warna dengan baik, sehingga kualitas warna pada produk yang dihasilkan akan awet dan tahan lama.
Keunggulan viscose rayon ini, memberi desainer ruang kreativitas yang luas. Mereka dapat berinovasi dengan berbagai model dan palet warna, termasuk gradasi warna yang unik dan langka. Karakteristik viscose rayon yang mampu mengaksentuasi kejelasan dan kedalaman warna membuat setiap kreasi busana tampak hidup dan memikat.
Evolusi Viscose Rayon
Seiring berjalannya waktu, viscose rayon telah bertransformasi dari alternatif murah untuk sutra menjadi salah satu bahan paling fleksibel dan dicari dalam industri fashion. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi dan penelitian yang intensif terhadap viscose rayon.
Selain itu, digaungkannya prinsip sustainable fashion demi mengurangi dampak perubahan iklim, semakin mendorong penelitian lebih lanjut, untuk menciptakan metode produksi viscose rayon yang lebih ramah lingkungan.
Perkembangan Teknologi dan Penelitian yang Intensif terhadap Viscose Rayon
Viscose rayon telah menjalani evolusi yang panjang sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini. Berikut adalah ringkasan perkembangan teknologi dan metode produksi viscose rayon dari waktu ke waktu:
Awal Penemuan (Akhir Abad ke-19)
![]() |
Serat buatan dari George Audemars (Sumber: wikimedia.org) |
Georges Audemars adalah orang pertama yang menciptakan konsep awal dari serat buatan yang mirip dengan sutra. Pembuatannya adalah dengan mencelupkan jarum ke dalam bubur kulit batang murbei dan karet gom untuk membuat benang. Meskipun inovatif, metode ini tidak efisien untuk produksi massal.
Pada pertengahan abad ke-19 di Perancis, terjadi wabah penyakit yang menyerang ulat sutra, sehingga dicarilah alternatif untuk sutra.
Count Hilaire de Chardonnet, seorang ahli kimia Perancis, kemudian menemukan metode untuk menghasilkan benang buatan dengan sifat-sifat yang mirip dengan sutra menggunakan selulosa. Metode ini kemudian menjadi dasar untuk pengembangan selanjutnya dalam produksi serat buatan yang mirip sutra, yang akhirnya dikenal sebagai rayon.
Hilaire de Chardonnet mengembangkan "sutra buatan" pertama kali dari selulosa nitrat. Serat Rayon miliknya diberi nama Chardonnet silk. Pada waktu itu, Rayon masih jauh dari sempurna, sifatnya kurang stabil, dan mudah terbakar.
Selulosa nitrat sendiri memang merupakan zat yang tidak stabil dan mudah terbakar apabila suhunya mencapai di atas 170°C karena terjadi perubahan komposisi akibat panas yang tiba-tiba.
Baca juga: Sejarah dan Perkembangan Seragam Kantor
Perkembangan Awal (1900-an awal)
![]() |
Selulosa (Putih), Xanthate (Oranye), dan Viscose Rayon (Putih) (Sumber: wikimedia.org) |
Larutan viscose untuk serat rayon akhirnya ditemukan dan dipatenkan. Selulosa dicampur dengan larutan alkali, lalu dengan karbon disulfida, untuk menghasilkan larutan kental yang dikenal sebagai xanthate. Larutan ini kemudian diekstrusi melalui celah-celah kecil ke dalam larutan asam untuk menghasilkan filamen.
British Company Courtaulds mulai memproduksi viscose rayon secara komersial pada tahun 1905. Namun, pada masa ini, produksinya masih menggunakan banyak larutan kimia berbahaya yang tidak ramah lingkungan untuk membuat viscose.
Optimasi Proses (1930-an - 1950-an)
![]() |
Pameran pakaian dan topi dari serat viscose rayon di Paris tahun 1941 (Sumber: wikimedia.org) |
Proses produksi viscose ditingkatkan, sehingga menghasilkan serat yang lebih kuat dengan sifat-sifat yang mirip dengan kapas atau sutra. Proses pembersihan dan pemurnian selulosa menjadi lebih canggih.
Proses seleksi kayu atau sumber selulosa lain yang digunakan menjadi lebih ketat, memastikan hanya bahan baku terbaik yang digunakan, sehingga serat yang dihasilkan lebih homogen dan berkualitas.
Pengeringan serat setelah proses ekstrusi menjadi kunci dalam menentukan kualitas akhir serat. Teknik pengeringan yang lebih canggih diperkenalkan pada periode ini, sehingga menghasilkan serat dengan distribusi kelembapan yang seragam dan struktur internal yang lebih baik dari sebelumnya.
Pada periode ini, penggunaan rayon menjangkau berbagai produk tekstil yang digunakan untuk sehari-hari seperti kemeja, gaun, dan selendang karena kemiripannya dengan sutra alami tetapi dengan harga yang lebih terjangkau.
Pengembangan Serat Spesialisasi (1960-an - 1980-an)
![]() |
Pashmina dengan bahan Modal Rayon yang elastis (Sumber: wikimedia.org) |
Pabrikan mulai memodifikasi struktur kimia rayon untuk menciptakan serat dengan sifat khusus, seperti tahan api atau anti-statis. Contoh inovasi dalam periode ini adalah modal rayon, yang lebih elastis dan cocok digunakan pada pakaian olahraga.
Fokus pada Keberlanjutan/ Sustainability (1990-an - 2000-an)
![]() |
Produk lyocell dari Sateri (Sumber: sateri.com) |
Karena dampak lingkungan dari industri tekstil mulai mengkhawatirkan, industri mulai mencari cara untuk menciptakan proses produksi viscose rayon yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan mengurangi penggunaan karbon disulfida.
Contohnya adalah metode produksi "lyocell" yang memanfaatkan N-Methylmorpholine N-oxide (NMMO) sebagai pelarut, yang lebih ramah lingkungan daripada metode viscose tradisional.
Era Modern (2010 - saat ini)
![]() |
Pakaian dari Sateri (Sumber: sateri.com) |
Kini, operasional industri mulai berfokus pada keberlanjutan dan prinsip sustainable living, sumber selulosa diambil dari hutan yang dikelola dengan prinsip keberlanjutan, dan upaya untuk merekombinasi karbon disulfida agar prosesnya lebih tertutup (closeed-loop) dan mengurangi emisi.
Salah satu pionir penggerak sustainable fashion dalam produksi viscose rayon adalah Royal Golden Eagle (RGE). Jaringan perusahaan RGE bergerak untuk mendorong terciptanya sustainable living dalam skala global. Hal ini terbukti dari, praktik bisnis dan operasional Sateri dan APRayon dalam memproduksi viscose rayon yang terintegrasi dan ramah lingkungan.
Sepanjang sejarahnya, viscose rayon telah berkembang dari alternatif murah bagi sutra menjadi material serbaguna yang dapat diterapkan pada berbagai produk tekstil. Dengan teknologi modern, fokus saat ini adalah membuat produksinya semakin berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Komitmen RGE dalam Evolusi Viscose Rayon yang Lebih Ramah Lingkungan
Royal Golden Eagle berkomitmen dalam mewujudkan konsep keberlanjutan dalam setiap aspek bisnisnya, termasuk bisnis tekstil.
Sateri dan APRayon adalah perusahaan manufaktur yang dinaungi oleh RGE, dan keduanya merupakan beberapa perusahaan manufaktur viscose rayon terbesar di dunia. Melalui Sateri dan APRayon, RGE mendukung inovasi dalam teknologi untuk proses produksi viscose yang meminimalkan penggunaan bahan kimia, mengurangi konsumsi air, dan mengurangi limbah melalui daur ulang sumber daya (recycle dan upcycle).
Selain itu, Sateri dan APRayon juga memastikan sumber bahan baku berasal dari hutan yang dikelola dengan cara yang bertanggung jawab.
Kolaborasi antara tim penelitian dan pengembangan di berbagai perusahaan di bawah naungan RGE membantu mempercepat penciptaan teknologi baru. Mereka bekerja sama dengan para ahli industri, pemangku kepentingan, dan komunitas setempat untuk mengembangkan solusi inovatif yang mendorong industri fashion ke arah yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Dampak Lingkungan dari Produksi Viscose Rayon dan Upaya RGE Dalam Menguranginya
-
Dampak lingkungan akibat deforestasi
Produksi viscose rayon dimulai dari penebangan pohon, karena dibutuhkan selulosa pohon untuk membuat serat viscose rayon. Terkadang, industri tekstil menyebabkan penebangan hutan alam yang tak terkendali, terutama di daerah-daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Inisiatif seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) menawarkan sertifikasi untuk memastikan bahwa kayu dan serat pohon yang digunakan berasal dari sumber yang dikelola dengan bertanggung jawab.
Sertifikasi tersebut memastikan bahwa pohon yang ditebang untuk produksi serat, merupakan pohon dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab. Pohon yang ditebang harus berasal dari hutan produksi dan bukan hutan lainnya, khususnya hutan lindung.
Perusahaan yang lolos uji sertifikasi tersebut, dijamin akan selalu mengelola hutan secara berkelanjutan. Contoh perusahaan produsen viscose rayon yang telah lolos uji sertifikasi FSC dan PEFC adalah Sateri dan APRayon.
-
Dampak lingkungan akibat konsumsi air
Menurut April 2022 Sustainability Report, APRIL menyadari betapa pentingnya pengelolaan air yang bertanggung jawab, mengingat operasional mereka memerlukan air tawar dalam jumlah besar. Pembuatan kertas dan bubur kertas memerlukan banyak air, begitu pula pembuatan serat viscose.
Air diperlukan di setiap tahap operasi APRIL, mulai dari produksi, pemanasan, pendinginan, hingga pembersihan.Dokumen Referensi EU-BAT dan standar CEPI menjadi patokan APRIL dalam mengelola air.
APRIL menetapkan target untuk mengurangi penggunaan air proses sebanyak 25% per ton produk. Mereka berencana mencapai target ini dengan daur ulang dan meningkatkan efisiensi air di fasilitas yang intensif menggunakan air, juga melalui pembaruan atau modifikasi teknologi.
Pada tahun 2020, APRIL memulai pemasangan sebuah fasilitas yang memiliki fungsi khusus untuk mengolah air yang telah mereka tarik, dengan tujuan agar air tersebut dapat digunakan kembali. Ada dua langkah penting dalam pengolahan tersebut, yaitu:
Klarifikasi (menghilangkan partikel-partikel besar dari air) dan Filtrasi (menyaring dan menghilangkan kontaminan lainnya dari air setelah proses klarifikasi).
Pada tahun 2022, APRIL menerapkan 12 proyek tambahan untuk mengurangi konsumsi air. Hasilnya adalah penghematan sekitar 400 liter per detik.
-
Dampak lingkungan akibat bahan kimia berbahaya
Proses produksi viscose melibatkan penggunaan bahan kimia seperti natrium sulfat. Pembuangan bahan kimia ini ke lingkungan dapat mencemari air dan tanah.
Mengutip dari APRIL 2022 Sustainability Report, Asia Pacific Rayon (APRayon) menggantikan penggunaan natrium sulfat dengan natrium sulfida dalam proses proses produksi serat. Karena kandungan sulfur natrium sulfida yang tinggi, APRayon berhasil mengurangi konsumsi natrium sulfat sebanyak lebih dari 6 juta ton dibandingkan tahun 2021 (hampir setengah dari konsumsi natrium sulfat per ton produk).
Pada tahun 2022, APRIL berhasil mengurangi limbah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) dengan memanfaatkan kembali 182,647 ton limbah sebagai produk sampingan. Langkah ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga menghasilkan penghematan biaya.
Meskipun telah mengambil beberapa langkah untuk mengelola limbahnya, APRIL terus menerus berinovasi dan meneliti cara-cara baru untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah berbahayanya.
-
Dampak lingkungan akibat emisi karbon dan gas rumah kaca
Proses produksi viscose juga berkontribusi pada emisi karbon, meskipun tingkatannya mungkin lebih rendah dibandingkan dengan beberapa serat sintetis lainnya.
Dalam hal ini, Sateri telah menetapkan target yang ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam proses produksinya. Salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah dengan menggunakan sumber energi terbarukan dalam praktik bisnisnya.
Pada tahun 2021, Sateri telah berhasil menghubungkan proyek tenaga surya terdistribusi pertamanya di Sateri (Jiangsu) Fibre Co., Ltd. ke jaringan listrik. Keberhasilan proyek tenaga surya tersebut menandai langkah awal mereka dalam mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan, serta mengelola emisi karbon.
Di luar upaya mengurangi emisi karbon internal, Sateri juga menekankan pentingnya kolaborasi yang transparan dengan pihak eksternal. Dengan semangat inovasi, Sateri berinisiatif memacu perkembangan dan peluncuran produk-produk bebas emisi karbon, sekaligus mendukung seluruh pihak dalam rantai suplai atau ekosistem bisnisnya untuk mengurangi jejak karbon.
Selain itu, mengutip dari APRIL 2022 Sustainability Report, proyek tenaga surya APRIL telah mencapai kapasitas pembangkitan hingga 11 MW pada 2022. APRIL juga meningkatkan penggunaan biomasa dalam bauran energinya. Penggunaan biodiesel sebagai sumber energi mesin dan angkutan transportasi serat juga ditingkatkan.
Dalam APRIL 2022 Sustainability Report juga dilaporkan bahwa, terdapat penurunan emisi karbon dioksida sebesar 14% dari 0,55 tCO2 eq/ton menjadi 0,47 tCO2 eq/ton dalam proses produksi. Artinya, untuk setiap ton produk yang diproduksi, awalnya terdapat 0,55 ton CO2 setara (tCO2 eq) yang dilepaskan ke atmosfer, dan kini telah berkurang menjadi 0,47 ton CO2.
https://www.aprilasia.com/images/pdf_files/sr/april-sustainabilty-report-2022.pdf
Komentar