Dalam perang melawan trauma, satu-satunya kemenangan sejati adalah pertempuran yang tidak pernah perlu dimulai.
|
| Hana Maulida sedang menjalankan peran sebagai Aparatur Sipil Negara Dinas Perlindungan Anak Pemerintah Daerah Serang (Sumber: instagram/hanaulida) |
“Jujur, ini menyesakkan. Baru satu tahun saya menjabat sebagai ASN di bidang perlindungan anak, laporan kasus kekerasan (seksual dan non-seksual) terhadap anak rasanya tak henti-hentinya saya terima. Padahal, ini baru di satu daerah saja.”
“Di saat saya, sebagai orang tua, berusaha semaksimal mungkin menjaga anak-anak saya, di luar sana justru banyak sekali anak-anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tua atau kerabatnya sendiri. Jika tangan yang seharusnya mengasihi justru melukai, lantas siapa yang melindungi mereka?” ungkap Hana Maulida, Pendiri Yayasan Kakak Aman Indonesia, sekaligus Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Perlindungan Anak Pemerintah Daerah Serang.
Ironisnya, pernyataan Hana ini selaras dengan temuan dari Pusiknas Bareskrim Polri per Juni 2025 yang menunjukkan bahwa lokus kejahatan utama adalah tempat yang seharusnya paling aman: 43,01% kasus persetubuhan atau pelecehan seksual terhadap anak yang dilaporkan terjadi di lingkungan rumah.
Daftar Isi
- Menggugat Budaya yang Melanggengkan Bahaya
- Para ‘Kakak’ yang Menciptakan Ruang ‘Aman’
- Pendekatan yang Mudah, Murah, dan Menyenangkan (3M)
- Mengenali Bahaya yang Berwajah Ramah
- Tantangan adalah Keniscayaan
- Ekosistem Perlindungan Anak
- Meniscayakan Keberlanjutan, Meluaskan Dampak bersama Astra
- “Jika Ingin Pergi Jauh, Pergilah Bersama-Sama”
Sebelum menginisiasi Kakak Aman, keseharian Hana bagaikan medan perang empati. Delapan jam sehari ia bergulat dengan nuraninya dalam menangani berkas-berkas pilu—laporan kekerasan anak yang merinci mimpi buruk yang tak terbayangkan.
Banyak korban kekerasan yang ia tangani itu sebaya dengan kedua putranya, sehingga rasa cemasnya terasa sangat personal. Sesering apa pun ia menangani kasus-kasus itu, ia tidak pernah bisa terbiasa dengan rasa sesaknya.
“Sebagai ASN bidang perlindungan anak, saya tidak hanya melihat 'angka' statistik, tapi juga wajah anak-anak di balik angka itu. Saya menjadi saksi betapa menderitanya mereka dan betapa sulitnya untuk bisa benar-benar pulih dari trauma kekerasan seksual. Bagi saya itu cukup menyiksa.” imbuh Hana.
Data pun berbicara, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan tren pelaporan total kekerasan seksual terhadap anak yang meningkat secara konsisten dari 14.446 kasus (2021) menjadi 18.175 kasus (2023).
Namun, angka-angka ini hanyalah puncak dari “gunung es”.
Peningkatan angka ini, menurut analisis kelembagaan, tidak mencerminkan
peningkatan insiden, melainkan peningkatan kesadaran dan keberanian
melapor pasca-pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS).
Menggugat Budaya yang Melanggengkan Bahaya
|
| Hana Maulida sedang memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual (Sumber: dok. SATU Astra) |
Dulu, Hana pernah melakukan eksperimen kecil yang hasilnya sangat membekas di ingatannya. Di sebuah forum tenaga pendidik, ia mencoba ‘menantang’ para guru untuk menyebut nama alat kelamin tanpa istilah yang diperhalus. Hasilnya? Kesunyian yang canggung.
"Mereka semua segan ngucapinnya," kenang Hana. Reaksi instingtif orang dewasa itu adalah bukti nyata bahwa bagian tubuh manusia, yang seharusnya bersifat netral, telah dibebani oleh rasa malu yang tidak perlu.
Menurut Hana, seluruh anggota tubuh itu seharusnya bersifat netral. Anak-anak itu perlu diajari apa itu penis dan vagina, apa fungsinya, dan betapa pentingnya anggota tubuh itu. “Sering kita temukan ketika anak menyebut nama alat kelamin, anak itu justru dimarahi dan dianggap tidak sopan, padahal seharusnya diajari dan bimbing saja,” imbuh Hana.
Di satu sisi, kita ingin anak berani melapor jika ada yang menyentuh area privatnya. Namun, di sisi lain, kita malah memarahi mereka jika mereka menyebutkan nama area privat itu.
Menurutnya, ini adalah salah satu alasan mengapa pendidikan seksual itu menjadi tabu dari generasi ke generasi, dan menjadi hambatan psikologis terbesar yang harus didobrak sebelum edukasi pencegahan bisa benar-benar efektif.
Sistem perlindungan anak di masyarakat bergantung pada tiga lapisan utama pelapor: korban itu sendiri, keluarga, dan komunitas (sekolah, tetangga, dll). Data Pusiknas Polri dan KPAI menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus, lapisan pelindung kedua (keluarga) telah runtuh dan justru menjadi sumber ancaman.
Ketika kejahatan terjadi di ranah privat dan pelakunya adalah figur otoritas inti dalam keluarga (ayah/ibu/wali), mekanisme pelaporan sosial otomatis gagal. Keluarga, di sisi lain, memiliki insentif kuat untuk menutupi kasus demi menghindari stigma sosial, menjaga nama baik keluarga, atau karena adanya ketergantungan ekonomi pada pelaku.
Karena lapisan kedua dan ketiga dari sistem perlindungan anak banyak yang ‘rusak’, maka lapisan pertama (diri sendiri) harus diperkuat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pendidikan seksual kepada anak.
Masalahnya, masih banyak yang menganggap pendidikan seksual sebagai hal tabu. Pendidikan seksual juga masih belum menjadi materi wajib di sekolah-sekolah Indonesia. Sekalipun ada pihak-pihak yang ingin mengajarkannya, banyak yang masih bingung bagaimana cara memulainya karena masih minim referensi.
Lantas bagaimana cara kita menjangkau ‘lapisan pertama’ ini?
Para ‘Kakak’ yang Menciptakan Ruang ‘Aman’
|
|
Para pendiri awal Kakak Aman (Sumber: instagram/KakakAman) |
Senja mulai membayang di langit Kota Serang, pertanda jam pulang kerja Hana sudah hampir tiba. Membayangkan akan kembali bertemu kedua putranya membuat langkahnya jauh lebih ringan. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.
Keesokan paginya, ada yang membuat langkah kaki Hana terasa lebih berat. Berita kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali disiarkan di televisi rumahnya, kali ini sangat menggemparkan. Korban dirudapaksa oleh ayah kandungnya sendiri sejak 2013 dan baru terungkap satu dasawarsa kemudian.
Sesuatu membubung di dada Hana hingga pelupuk matanya memanas dan air mata pun jatuh tanpa permisi. Ia goyah dan merasa tak sanggup melangkah ke kantor pagi itu. Karena sudah tidak tahan lagi, Hana memutuskan untuk membicarakan keresahannya ini kepada kedua rekannnya, Nining Fatmawati dan Nining Fatimah di sebuah warung bakso dekat SDN Buah Gede Serang. Pertemuan ketiganya di sana adalah cikal bakal lahirnya Kakak Aman.
“Biasanya, ketika terjadi suatu kasus kekerasan seksual terhadap anak, kita hanya fokus pada pelaku agar bisa dihukum seberat-beratnya. Kita hanya bisa marah. Tapi setelah amarah itu mereda, lantas selanjutnya apa? Bagaimana dengan korban?”
Berbasis di Kota Serang, Banten, Kakak Aman merupakan organisasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak melalui pendidikan seksual yang kontekstual. Fokus utama sasarannya adalah anak-anak pada jenjang Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD kelas 1 sampai 6). Meskipun demikian, gerakan ini juga telah mulai menjangkau anak-anak di jenjang SMP dan SMA secara bertahap.
Menjadi 'Kakak' di Kakak Aman adalah panggilan terbuka. Siapa saja, mulai dari mahasiswa/i hingga ibu rumah tangga, boleh mendaftar tanpa memandang latar belakang pendidikan atau usia. Nantinya, para sukarelawan yang mendaftar tersebut, akan dikurasi langsung oleh tim Hana Maulida, diberi pelatihan atau Training of Trainer (ToT) setelah lolos kurasi, dan diarahkan ke sekolah-sekolah yang ada di area Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon.
Nama ‘Kakak Aman’ dipilih untuk kepentingan ‘branding’ yang mudah diingat. Sosok 'Kakak' dipilih karena identik sebagai pelindung, tetapi dengan pendekatan yang berbeda dari orang tua. 'Kakak' tidak menciptakan jarak atau rasa 'intimidasi' karena kedekatan usianya dengan anak-anak. Kedekatan usia yang tersirat dari kata 'Kakak' diharapkan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk membuka diri.
Pendekatan yang Mudah, Murah, Menyenangkan (3M)
Di tengah gempuran solusi digital, Hana dan rekan-rekannya justru bergerak melawan arus. Menurutnya, di era digital ini, justru terdapat suatu hal yang hanya bisa diberikan oleh sentuhan manusiawi.
Anak-anak generasi saat ini adalah Digital Native. Sejak balita, mereka sudah akrab dengan berbagai jenis gawai, bahkan tak sedikit yang sudah menunjukkan tanda-tanda kecanduan gawai sejak usia dini.
“Yang anak-anak butuhkan adalah interaksi langsung. Metode non-digital ini kami dapati justru lebih menarik perhatian anak-anak dan memantik interaksi aktif dibandingkan ketika diberikan video, sekalipun itu video interaktif. Karena, mereka sudah terbiasa dengan konten berformat digital seperti foto dan video. Jadi, metode ini justru lebih menarik minat mereka,” papar Hana.
Metode edukasi Kakak Aman distandarisasi agar mudah dan murah untuk direplikasi, lalu dirancang agar menyenangkan bagi anak-anak dalam implementasinya. Untuk memastikan setiap relawan dan guru memiliki panduan yang sama, Kakak Aman menciptakan sebuah perangkat edukasi fisik siap pakai yang disebut Body Safety Kit.
Jika kita buka isi paket Body Safety Kit tersebut, kita akan menjumpai dua modul ajar yang aplikatif tanpa ada unsur pornografi beserta alat-alat pendukungnya: manekin tangan berwarna hitam, boneka tangan berbentuk hewan untuk mendongeng, dan berbagai jenis poster.
Modul ajar tersebut disusun berdasarkan hasil riset dan konsultasi Kakak Aman bersama para ahli seperti psikolog anak, dokter anak, pemerhati anak dan stakeholder terkait lainnya. Konsultasi dengan para ahli inilah yang mengkonfirmasi bahwa metode "ceramah" satu arah yang kaku tidak efektif untuk audiens anak-anak. "Sebab, mereka tidak dilibatkan sehingga anak tidak mendapatkan pengalaman langsung," jelasnya.
Berangkat dari fakta psikologis tersebut, modul Kakak Aman dirancang 180 derajat berbeda. Modul-modul ini disusun secara kreatif dan menarik menggunakan media yang disukai anak, seperti dongeng interaktif, cerita bergambar, dan permainan, agar mereka terlibat aktif dan memahami materi dengan mudah.
Modul pertama sifatnya lebih general, untuk anak-anak jenjang TK sampai SMA. Tujuan dari modul ini adalah membantu anak-anak mengenali area privasi tubuh, dan mengajarkan sikap untuk menghadapi situasi sulit.
Modul kedua lebih komprehensif dan dikhususkan untuk anak-anak yang memasuki usia pra-remaja (SD kelas 4-6 ke atas) karena terdapat materi pubertas di dalamnya. Karena topik ini sangat sensitif dan membutuhkan pendekatan khusus, sesi ini diajarkan secara terpisah berdasarkan gender. Untuk memastikan pemahaman yang mendalam dan membangun fokus, model ini diterapkan dalam kelompok kecil, di mana satu edukator disarankan menangani maksimal sepuluh anak.
|
| Cover modul 1 dan modul 2 ciptaan Kakak Aman (sumber: kakakaman.id) |
Bicara soal modul kedua ini, ada satu momen yang cukup berkesan bagi Hana. Ketika Hana menjelaskan materi pubertas pada kelompok anak perempuan Sekolah Dasar (SD), menstruasi adalah fokus utamanya.
Di kelompok ini, terungkap ada beberapa anak SD yang sudah menstruasi. Hana pun menjelaskan proses biologisnya, apa yang harus dilakukan, dan dampak menstruasi terhadap tubuh. Kemudian, ia menyampaikan bahwa anak yang sudah menstruasi, secara biologis, sudah bisa hamil.
Sontak, anak-anak itu tertegun.”Hah? Beneran kak? Anak perempuan SD bisa hamil?” ucap mereka dengan polosnya.
“Mereka pikir, hamil dan melahirkan adalah sesuatu yang hanya bisa terjadi pada perempuan dewasa. Kami pun sama kagetnya. Ternyata, anak-anak ini banyak yang belum tahu bahwa patokan seseorang bisa hamil itu bukan usianya, tapi kondisi biologisnya. Mereka bahkan belum paham kenapa mereka menstruasi setiap bulannya. Akhirnya, kami jelaskan bahwa itu adalah tanda kematangan fungsi reproduksi perempuan tentunya dengan cara yang mudah dipahami,” kenang Hana.
Pengetahuan fundamental seperti ini tentu sangat penting untuk membangun kesadaran dan kewaspadaan anak dalam menjaga dan memperlakukan tubuh mereka. Dengan begini, mereka tidak akan lagi mudah untuk dimanipulasi.
Mengenali Bahaya yang Berwajah Ramah
Binar mata anak-anak seketika terkunci pada boneka tangan berbentuk gajah, zebra, dan beruang yang baru saja dikeluarkan para kakak di Masjid Ats-Tsauroh, Kota Serang. Hana Maulida mementaskan sebuah dongeng fabel bersama tiga kakak lainnya. Alat peraganya adalah boneka tangan yang lucu, tapi pesannya serius: niat jahat yang sering disamarkan dengan kebaikan.
Melalui dialog para hewan itu, anak-anak diajarkan bahwa bahaya bisa datang dari siapa saja—bukan hanya orang asing, tapi juga orang terdekat seperti guru atau kerabat. Jika ada orang yang "seolah berbuat baik" tetapi meminta imbalan untuk menyentuh area privat anak, artinya mereka bukan orang baik.
Untuk memastikan pesannya menancap, dongeng ini selalu diikuti sesi Q n A interaktif dan dikaitkan dengan contoh di kehidupan sehari-hari anak. Keberhasilan metode ini, menurut Hana, melampaui ekspektasi. "Ternyata, dongeng ini tidak hanya efektif bagi anak-anak TK dan SD kelas 1 sampai 3," ucapnya bangga, "tetapi juga bagi anak-anak usia pra-remaja."
Sesi interaktif itu memang membuahkan hasil nyata. Logika perlindungan diri mulai terbangun di benak anak-anak. Contohnya Nining, seorang gadis kecil berjilbab tosca, yang tiba-tiba mengangkat tangan setelah sesi dongeng selesai. Dengan wajah serius, ia mencoba menerjemahkan dongeng fabel tadi ke dalam "bahasa" jajanan kesukaannya.
“Berarti kalau nanti ada yang beliin es kepal milo, tapi minta cium itu tandanya orang jahat ya, kak? Nining mesti lapor Abeh di rumah ya kalau dicium orang?” celetuknya polos.
Hana tersenyum lebar, memberikan validasi instan yang dibutuhkan Nining. “Betul! Pinter sekali Nining! Itu namanya bukan hadiah, tapi pancingan. Nining harus lari dan lapor Abeh, ya!”
“Atuh, Robi kalau ada yang mau kasih top up games tapi minta dipegang-pegang tandanya kamu lagi dijahatin, Robi!” Nining mengalihkan fokus ke Robi, adik kandungnya yang juga ada di sana.
Antusiasme Nining belum surut. Saat para kakak mengeluarkan alat peraga berikutnya—sebuah manekin tangan berwarna hitam pekat—tangan mungil Nining kembali teracung paling tinggi saat diminta menjadi sukarelawan maju ke depan.
Inilah “Games Tangan Hitam”, simulasi primadona Kakak Aman untuk melatih refleks tubuh anak terhadap bahaya.
Nining berdiri tegak di hadapan teman-temannya. Seorang kakak relawan memegang tangan hitam itu, mengarahkannya ke beberapa area tubuh Nining tanpa benar-benar menyentuhnya, untuk menjaga kenyamanannya.
"Siap ya, Nining?" aba-aba sang kakak.
Saat tangan hitam itu melayang ke arah bahu dan kepalanya, Nining berteriak lantang, “Yes, yes, yes!” Tanda area itu aman disentuh. Namun, atmosfer berubah tegang saat tangan hitam itu tiba-tiba menukik ke arah dada dan perutnya. Seketika Nining refleks menjauhkan diri dan berteriak sekuat tenaga, “No, no, no!”
Di momen itu, muscle memory (memori otot) sedang terbentuk. Nining tidak lagi sekadar tahu teori, tubuhnya kini tahu kapan harus menolak sentuhan yang tidak diinginkan. Kakak relawan kemudian menjelaskan dengan lembut bahwa teriakan Nining itu valid: tidak ada yang boleh menyentuh area privat tersebut tanpa izin.
Permainan ini bukan sekadar edukasi visual tentang batasan tubuh, tetapi juga sebagai latihan refleks bersuara. Tujuannya adalah untuk menanamkan muscle memory pada anak, bahwa berkata 'TIDAK' dengan tegas saat merasa tidak nyaman adalah respons yang benar dan sah, bukan sebuah pembangkangan yang salah.
|
| Hana Maulida sedang memberikan pendidikan pencegahan kekerasan seksual (Sumber: instagram/KakakAman) |
Keberanian untuk berkata “Tidak” merupakan salah satu bagian paling penting dari modul edukasi pencegahan kekerasan seksual. Bagi kita, orang dewasa, mengucapkan kata 'Tidak' sering terasa berat—berat karena takut konflik, segan, atau tidak ingin mengecewakan. Sekarang, bayangkan beban kata yang sama di mulut seorang anak.
Bagi mereka, mengatakan 'Tidak' itu bisa terasa seperti tindakan pembangkangan yang bisa jadi terasa seperti mempertaruhkan segalanya, seperti rasa aman, kasih sayang, dan validasi dari orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Tantangan adalah Keniscayaan
“Pernah ada suatu daerah yang secara halus menolak penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dari kami. Alasannya, khawatir daerah tersebut akan dianggap memiliki kasus kekerasan seksual yang tinggi oleh publik,” kenang Hana. Beruntungnya, penolakan seperti ini tidak terlalu sering ditemui oleh tim Kakak Aman.
Alih-alih berkecil hati, penolakan tersebut justru dianggap sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya membingkai (framing) pesan. Kurangnya skill komunikasi inilah yang akhirnya terpecahkan saat Kakak Aman bergabung dalam ekosistem SATU Indonesia Awards (SIA).
Melalui sesi mentoring intensif dan pelatihan public speaking yang difasilitasi Astra, Hana dan timnya belajar membingkai ulang (reframing) narasi mereka. Solusi yang mereka tawarkan harus bisa memberdayakan daerah alih-alih membuat mereka merasa dihakimi.
|
| Kakak Aman bersama guru pasca edukasi pencegahan kekerasan seksual kepada anak (Sumber: instagram/KakakAman) |
Dari pengakuan Hana dan para kakak di lapangan, tidak ada tantangan yang signifikan dari sisi anak-anak. Namun, ada sekelumit tantangan dari sisi orang tua. “Di Banten ini, banyak sekali orang tua dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Khususnya, di area yang lebih terpelosok. Pola pikir mereka terkait mengasuh anak itu masih lawas,” ucap Hana.
Masuk ke daerah pelosok di Banten, Hana berhadapan dengan pola pikir lawas yang mengakar kuat. Di tanah para Jawara ini, kekerasan verbal atau fisik dalam pengasuhan sering kali dianggap lumrah sebagai cara membentuk mental anak agar "tahan banting".
Tak jarang Hana harus berdebat alot—tetapi tetap santun—dengan para tetua yang meyakini bahwa ilmu seksualitas itu tabu dan sebenarnya akan dipahami dengan sendirinya saat anak dewasa.
“Kalau nunggu dewasa baru paham, itu terlambat, bu” jelas Hana, mencoba mendobrak logika tersebut tanpa menggurui. Ia menyadarkan mereka bahwa membiarkan anak belajar sendiri sama saja menyerahkan mereka pada "guru jalanan" atau internet yang tanpa saringan.
Hana juga mengajak mereka merenung: jika anak terbiasa dipukul (dididik keras), mereka akan belajar bahwa rumah bukanlah tempat yang aman. Akibatnya, saat ada orang jahat di luar sana menyakiti mereka, mereka akan bungkam.
“Mereka nanti takut lapor karena takut dimarahi lagi di rumah. Tahu-tahu, lukanya sudah dalam, atau naudzubillah, sudah hamil.” ucap Hana sedikit menakut-nakuti. Kelihaian dan konsistensi para kakak dalam berkomunikasi perlahan membuat para orang tua melunak.
Selain menghadapi hambatan eksternal, Hana Maulida juga bergulat dengan tantangan dari dalam. Perjalanan ini menuntut harga yang tidak murah bagi kehidupan pribadinya. Ia harus merelakan waktu istirahat dan momen bersama keluarga yang kian menyusut. Fokusnya pun diuji hebat karena harus terbagi rata antara tanggung jawab sebagai abdi negara, peran sebagai ibu, dan panggilan jiwanya di Kakak Aman.
“Pengorbanan personal saya termasuk berkurangnya waktu tidur yang cukup signifikan. Ada begitu banyak kesempatan yang membuat saya harus terus memutar otak untuk berinovasi dalam menyusun materi edukasi. Fokus saya jadi pecah terbagi-bagi,” aku Hana.
Meskipun demikian, niat baik memang selalu menemukan jalannya. Hana mengakui bahwa ia mendapatkan banyak bantuan dari orang terdekatnya. “Ini bukan soal saya yang hebat atau saya yang pintar mengatur waktu, tidak sama sekali. Saya memiliki support system yang sangat luar biasa, suami dan orang tua saya sangat support. Misalnya, jika saya harus mengisi acara di akhir pekan, orang tua saya bersedia jaga anak-anak. Suami juga membantu mobilitas saya dengan antar jemput,” ujar Hana bangga.
Banyak inisiatif mati suri di tahap awal karena urusan biaya, sehingga perjuangan Kakak Aman cukup berat di awal.
Tantangan finansial itu nyata. “Dana awal berasal dari dana patungan saya dan kedua rekan saya,” jelas Hana. Meskipun mereka memandangnya sebagai investasi sosial, tetap ada kekhawatiran jika gerakan mereka terlanjur layu sebelum benar-benar berdampak.
Belum lagi, Hana dan timnya harus berjibaku meyakinkan orang lain untuk bergabung. “Mencari relawan 'Kakak', melatih mereka, dan membangun sistem dari nol cukup melelahkan, tapi harus dilakukan” pungkas Hana.
Ekosistem Perlindungan Anak
“Pernah ada suatu sekolah yang sampai mengucapkan terimakasih hingga belasan kali kepada kami setelah kami berikan pelatihan,” ungkap Hana menyoroti antusiasme tinggi dari para guru. “Mereka mengaku baru tahu, bahwa pendidikan seksual itu bisa diajarkan tanpa ada unsur pornografinya” imbuhnya.
Rasa haus tenaga pendidik akan panduan yang tepat ini akhirnya melahirkan inisiatif tak terduga bernama Komunitas Guru Aman. Wadah ini hadir sebagai ruang bagi para guru di Serang untuk saling bertukar keresahan, membagikan strategi, serta berkonsultasi demi menciptakan ekosistem sekolah yang bebas dari kekerasan seksual.
Sayap Kakak Aman pun kian melebar. Kini, selain guru, para orang tua juga menjadi sasaran prioritas edukasi demi menciptakan ekosistem perlindungan anak yang solid.
Menurut Hana, orang dewasa memang harus dibekali dengan keterampilan berkomunikasi yang baik. Anak-anak tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Percuma anak-anak berani bersuara dan melapor, jika orang dewasa di sekitar mereka justru tidak tahu harus berbuat apa, atau lebih buruk, malah menyalahkan mereka.
Ternyata, ibarat pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui, Guru Aman ini turut mendukung program pemerintah yang mewajibkan adanya satgas anti kekerasan terhadap anak di instansi masing-masing.
Yang awalnya para guru bingung harus melakukan apa terhadap kewajiban pemerintah ini, mereka sekarang memiliki pedoman yang jelas untuk membuat program pencegahan kekerasan di sekolah masing-masing.
|
| Forum Guru Aman (Sumber: instagram/KakakAman) |
“Bulan lalu (September), saya mencoba memanfaatkan posisi saya sebagai ASN agar bisa mengundang para guru ke forum pemerintahan. Hasilnya, sekarang sudah lahir suatu program yang menurut saya sangat menyentuh hati. Nama programnya ‘Obrolan dari Hati’. Program ini diselenggarakan oleh 4 sekolah,”
Menurut para guru, akar dari pendidikan seksual adalah mengajari anak untuk mengenali diri sendiri, seperti memahami kata hati dan mengenali jenis-jenis emosi. Terkadang, banyak orang tua yang—secara langsung maupun tidak langsung—menekan emosi anak-anaknya, seperti dilarang menangis, kesal, dan cemas.
Jika emosi negatif diredam, anak menjadi bingung menyampaikan atau berperilaku saat berhadapan dengan situasi yang sulit. Jika anak-anak tidak bisa mengenali emosinya, maka bagaimana mereka belajar meregulasinya? Padahal regulasi emosi ini adalah bekal fundamental bagi manusia agar bisa menyalurkan emosinya ke wadah yang lebih baik. Sehingga, meminimalisir mereka untuk berperilaku buruk atau diperlakukan dengan buruk.
"Sangat mengharukan saat saya menonton video berlangsungnya program ‘Obrolan dari Hati’ itu," imbuh Hana.
Di video itu, seorang guru mengajak anak-anak memeluk diri sendiri dan menyelami emosi. “Anak-anak itu nyatanya sangat butuh didengarkan,” kata Hana. Kebutuhan itu tergambar jelas pada wajah seorang siswa kelas 5 yang biasanya pendiam.
Video itu menunjukkan siswa tersebut yang akhirnya bercerita. Ia mengaku tidak tinggal bersama orang tuanya. Ia tinggal bersama kakeknya yang sudah sepuh. Uang jajan sehari-hari ia dapatkan dari Om dan Tantenya.
“Bagi anak seperti dia,” jelas Hana, “sekolah adalah satu-satunya tempat dia bisa menjadi 'anak-anak'. Di luar, dia adalah orang dewasa yang memikul beban berat.”
Inilah kerentanan yang sesungguhnya. Anak-anak yang dipaksa dewasa lebih cepat, tanpa figur pelindung seperti siswa tersebut adalah sasaran manipulasi yang paling mudah, terutama jika tidak ada yang membimbingnya.
Meniscayakan Keberlanjutan, Meluaskan Dampak bersama Astra
“Nggak pernah ada dalam rencana, Kakak Aman bisa sampai di titik ini. Diketahui dan diakui banyak orang. Didukung dan didoakan dimana-mana.”
Semangat Kakak Aman ibarat api kecil yang menyala di tengah kegelapan. Namun, untuk menerangi lorong-lorong gelap di seluruh penjuru negeri, api itu butuh bahan bakar yang lebih besar. Diperlukan jejaring yang kuat dan validasi yang kokoh agar gerakan ini tak hanya berhenti di Banten.
Titik balik itu datang ketika Astra, melalui program SATU Indonesia Awards (SIA), menangkap sinyal potensi dari gerakan yang bermula dari dana patungan ini.
Pada tahun 2024, Hana Maulida dinobatkan sebagai penerima apresiasi SIA Bidang Pendidikan. Penghargaan ini adalah wujud komitmen Astra untuk menjaring anak-anak muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi sekitarnya di bawah payung Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia.
Bagi Hana, apresiasi ini bukan sekadar penghargaan. Ini adalah sebuah akselerasi.
Sejak validasi dari Astra disematkan, pintu-pintu kesempatan yang sebelumnya terkunci rapat, kini terbuka lebar. Hana mengakui, nilai terbesar dari SIA bukanlah pada hadiah uang tunainya, melainkan pada "sekolah sociopreneur" yang ditawarkannya.
“Kesempatan dimentori oleh para ahli, pelatihan public speaking, hingga berjejaring ke tingkat nasional adalah pengalaman yang mahal. Bahkan jika kami tidak sampai memenangkan SIA, pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh Astra sudah membuat kami sangat bersyukur,” aku Hana.
Dampak dari kolaborasi ini sungguh nyata. Validasi dari Astra ibarat "stempel kredibilitas" yang membuat pihak lain tak ragu untuk bersinergi.
Pasca-SIA, Kakak Aman diundang langsung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk mengisi kegiatan strategis pada Hari Anak Nasional—sebuah panggung yang dulunya terasa mustahil dijangkau.
Tak hanya itu, Kakak Aman juga dilibatkan secara aktif dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) Astra untuk membina guru-guru PAUD dalam menyampaikan pendidikan seksual. Sinergi ini memungkinkan metode Kakak Aman menjangkau ribuan siswa usia dini lebih cepat dari yang pernah Hana bayangkan.
|
| Kakak Aman bersama forum alumni Yseali (Sumber: instagram/KakakAman) |
Gema gerakan ini bahkan melintasi batas negara. Saat mempresentasikan Kakak Aman di forum YSEALI tingkat ASEAN, Hana menemukan bahwa keresahan yang ia rasakan ternyata universal. Di Asia Tenggara, kasus kekerasan terhadap anak kian marak, tetapi belum banyak gerakan yang menjangkau tingkat pencegahan seperti Kakak Aman. Metode sederhana yang diracik di Serang kini diakui relevansinya di panggung internasional.
Kini, dampaknya kian masif. Gerakan yang dulunya sempat diragukan, kini telah direplikasi di 17 daerah di Indonesia. Modul Kakak Aman diadopsi oleh berbagai komunitas secara organik. Hana dengan bangga menyebut, jika diukur dengan skala angka 0 sampai 10, maka tingkat kemudahan adopsi modulnya adalah 8—bukti bahwa solusi ini inklusif dan mudah diterapkan oleh siapa saja.
“Saat saya mengunjungi beberapa sekolah dan forum anak di kabupaten Serang, kami dapati bahwa sudah banyak yang lihai mengimplementasikan modul ini tanpa bimbingan dari Kakak Aman” terangnya.
Mimpi Hana ke depan sederhana tetapi ambisius: menjadikan pendidikan seksual sebagai kurikulum wajib nasional, dari TK hingga SMA. Ia ingin memastikan bahwa setiap anak di Indonesia, di mana pun mereka berada, memiliki "tameng" pengetahuan yang sama.
“Jika tidak bersama Astra, sepertinya hal-hal seperti ini tidak akan terjangkau oleh kami,” pungkas Hana.
Dari "ruang resah" seorang ibu yang menangis di depan televisi, kini harapan itu telah berubah menjadi gerakan nasional yang menyatukan gerak banyak pihak. Hana Maulida membuktikan bahwa ketika satu orang berani mendobrak tabu demi melindungi anak bangsa, dan didukung oleh ekosistem yang tepat seperti Astra, ia bisa menciptakan gelombang perubahan yang terus berdampak bagi masa depan Indonesia.
Kolaborasi dengan Astra telah mengubah Kakak Aman dari sebuah inisiatif menjadi sebuah ekosistem perlindungan yang terus bertumbuh. Jaring pengaman ini kini telah membentang di 17 daerah, ditenagai oleh 55 relawan dan 50 guru dari Komunitas Guru Aman. Melalui tangan-tangan mereka, ekosistem ini telah berhasil memeluk dan mengedukasi lebih dari 150 orang tua serta 4.000 anak.
"Jika Ingin Pergi Jauh, Pergilah Bersama-Sama"
“Saya akui, empati saya terlalu sensitif jika menyangkut anak-anak,”
renung Hana. “Namun, emosi negatif seperti keresahan itu ternyata bisa
dikonversi menjadi bahan bakar solusi. Syaratnya satu: kita harus bertemu
dengan orang-orang yang tepat.”
Bagi Hana, menjadi anak muda di zaman ini berarti dikepung oleh ribuan masalah. Namun, ia memiliki prinsip sederhana. “Pertama, janganlah jadi bagian dari masalah itu. Kedua, pilih satu saja masalah yang paling membuat dada kita sesak, lalu temukan orang-orang yang satu frekuensi untuk mencari solusinya.”
Ia sadar bahwa isu kekerasan seksual tidak akan selesai dalam semalam. Namun, ketenangan batin itu hadir karena ia tahu ia tidak berjalan sendirian.
“Itulah definisi bercerita di telinga yang tepat,” pungkas Hana. “Kita datang membawa keluh kesah, namun pulang membawa nyala semangat untuk berubah. Bukan malah sekadar adu nasib atau pasrah berjamaah.”
- Wawancara bersama Hana Maulida via direct message Instagram pada 22 Oktober 2025
- Wawancara bersama Hana Maulida via voice chat Instagram pada 24 Oktober 2025 – 25 Oktober 2025
- https://kakakaman.id/

.webp)


.png)
.jpg)
%20(3).png)
%20(4).png)
%20(5).png)
.png)
.png)


%20(1).png)

%20(6).png)



Komentar