Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Gambar

Paradoks Kendaraan Listrik: Dampak Pertambangan Nikel terhadap Lingkungan dan Masyarakat Adat

[no_Sidebar]
Hyundai Kona Electric (Sumber: Hyundai Internusa)


Pemerintah bilang kendaraan listrik merupakan salah satu upaya mengurangi emisi karbon. Namun, semakin banyak kendaraan listrik yang diproduksi, semakin besar pula kebutuhan terhadap nikel, sehingga pertambangan nikel akan semakin agresif. Akibatnya, ruang hidup hutan semakin sempit sehingga emisi karbon tetap meningkat akibat deforestasi. Selain itu, peran dan hak Masyarakat Adat di sekitar area tambang juga semakin dikerdilkan. Hal ini menimbulkan paradoks, sehingga solusi nyata perlu segera dihasilkan.
― 10/04/2023



Percakapan sore hari kala itu agak lain. Biasanya kami disuguhi percakapan trivia, tapi kali ini orang-orang bicara teknologi, sebuah topik yang menggugah pikiran dan visioner. Sore itu saya putuskan untuk menjadi penyimak, tidak mendebat, sekadar mengkritisi dalam hati sembari mengobservasi.

Fenomena Kendaraan Listrik

Kendaraan listrik sudah banyak mengaspal di jalanan ibu kota. 9 dari 10 teman saya sudah pernah menumpangi sepeda motor listrik. 2 dari 10 sudah mencoba mengendarainya sendiri. Dan 1 diantaranya sedang berencana untuk memiliki kendaraan listrik sendiri. 

Beberapa pengemudi dari perusahaan ojek online kini juga terlihat sudah beroperasi dengan kendaraan listrik di jalanan ibu kota. 

Elektrifikasi kendaraan memang sedang digalakan oleh pemerintah. Wajar saja sih mengingat kini emisi karbon sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Sehingga untuk meminimalisirnya, kendaraan harus beralih menggunakan sumber tenaga yang lebih ramah lingkungan. 

Namun, apakah si kendaraan listrik ini benar-benar 'ramah' terhadap lingkungan?

Pembicaraan sore itu fokus kepada fenomena kendaraan lisrik yang kian masif. Mulai dari suara kendaraannya yang lebih halus daripada sepeda; Perilisan Hyundai Kona yang disebut-sebut sebagai tanda menurunnya 'marwah' mobil listrik; Tutorial charging kendaraan listrik; Subsidi kendaraan listrik; Biaya yang dihemat jika kita menggunakan kendaraan listrik, dan lain-lain.

Dari sekian banyak bahasan teknis, tidak terbesit sama sekali topik tentang dampak negatif  kendaraan listrik dalam aspek lingkungan dan bagaimana kondisi ekologi negeri ini jika kendaraan listrik mendominasi jalanan di masa mendatang.

Saat itu saya putuskan untuk meruntuhkan dinding dan turut memberikan opini. Komponen utama dari kendaraan listrik itu sendiri adalah Baterai, di mana untuk memproduksi baterai kendaraan listrik membutuhkan sumber daya tambang yang menghasilkan nikel, litium, dan kobalt.

Otomatis, ruang hidup hutan akan semakin terkikis dengan bertambahnya area tambang untuk produksi baterai. Belum lagi wacana Ibu Kota Baru yang turut akan mempersempit area hutan. Kecemasan saya terpicu dengan pikiran-pikiran tersebut. Saya mengutarakan kecemasan dan kegelisahan saya akan hal ini dengan pendekatan yang halus dan bahasa yang tidak menggurui.

Namun sayang, efek greenwashing ternyata sangat real. Mentang-mentang dilabeli kata 'ramah lingkungan', orang-orang 'merasa' bahwa suatu produk dengan label 'ramah lingkungan' lantas tidak memiliki atau minim akan dampak negatif lingkungan. Padahal dalam praktiknya, transisi kendaraan listrik dapat menambah intensitas kerusakan lingkungan.

Saya menyaksikan sendiri betapa minimnya kepedulian orang sekitar saya terhadap isu lingkungan. Bukannya mereka tidak mengerti, tetapi sangat denial dan cenderung acuh

"Ah, ga separah itu pencemaran lingkungan, nanti pemerintah yg mikirin solusi"
"Oh, kasihan sih masyarakat pedalaman yang tertindas mafia tambang. Tapi pasti nanti ada komunitas yang bantu kok. No worries!"
"Oke bumi ini butuh bantuan, tapi yasudah kan sudah ada pihak yang memikirkan solusinya, kita ngapain repot."
"Kalau orang lain bisa bantu, kenapa harus gue? Gue mah bukan apa2, kalau gue boros emisi karbon gabakal ngaruh sma orang2 kok"
 
Pemikiran-pemikiran tersebut menciptakan ilusi bahwa akan selalu ada 'pahlawan' yang akan menyelamatkan kita. Padahal seharusnya segala perubahan itu dimulai dari yang kecil. Negara bisa berubah dimulai dari perubahan satu komunitas. Satu komunitas mampu berubah dimulai dari satu anggotanya. Segalanya dimulai dari diri kita sendiri.

Memang miris, tetapi tidak boleh membuat kita pesimis.

Inilah yang menjadi PR bagi kita para content creator: Menemukan cara supaya orang-orang sekitar tergerak untuk turut menjadi agen perubahan. Sekaligus melakukan pendekatan yang cukup persuasif agar membuat orang sekitar tidak 'menggampangi' isu-isu lingkungan.

Berapa Emisi Karbon yang Sebenarnya Bisa Dikurangi jika Kita Beralih Menggunakan Kendaraan Listrik?

Satu hal yang pasti adalah: Orang-orang cenderung menyukai contoh nyata dibandingkan membaca teori. Oleh karena itu, di sini saya akan memberikan gambaran nyata mengenai efisiensi konsumsi daya satu mobil listrik.

Kita ambil satu contoh mobil listrik yaitu Hyundai Kona Electric. Daya listrik yang diperlukan untuk men-charging penuh mobil ini adalah sebesar 2.640 watt, itu pun harus dilakukan selama 11 jam. Maka, rumah yang mampu melakukan charging 1 mobil listrik tersebut adalah rumah dengan kapasitas listrik di atas 2.200 watt.

Sementara, rata-rata kapasitas listrik rumahan di Indonesia adalah 1.300 watt - 2.200 watt. Opsi lain yang bisa dilakukan adalah charging kendaraan di SPLU (Stasiun Pengisian Listrik Umum) atau SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). Tetapi jumlahnya masih relatif kecil dan jarang ditemui. Selain itu, waktu charging juga cukup lama dan berisiko menyebabkan antrean panjang.

Bagaimana untuk motor listrik? 
Daya listrik yang diperlukan untuk charging motor listrik adalah 450 watt, memang jauh lebih kecil dibandingkan mobil listrik.

Namun, sumber listrik yang kita gunakan untuk men-charging kendaraan, saat ini masih bergantung pada PLTU yang menggunakan bahan bakar fosil. Jadi, meski emisi karbon yang kita hasilkan dari kendaraan berkurang, tetapi emisi karbon yang kita hasilkan untuk charging kendaraan tersebut jadi bertambah.

Contoh kasus: Penggunaan listrik di rumah Budi menghasilkan emisi karbon sebesar 4,6 ton/tahun. 

Kendaraan Budi menghasilkan emisi karbon sebesar 3 ton/ tahun. 

Maka, total emisi karbon yang dihasilkan oleh Budi setiap tahunnya = 4,6 + 3 = 7,6 ton/ tahun

Kemudian Budi memutuskan beralih ke kendaraan listrik dan hanya menghasilkan emisi karbon dari kendaraannya sebesar 0 ton/ tahun. 

Namun karena harus men-charging motor listriknya setiap hari, emisi karbon dari penggunaan listrik rumahnya bertambah menjadi 6 ton/ tahun. 

Jadi, total emisi karbon yang Budi hasilkan setiap tahunnya berkurang dari 4,6+3=7,6 ton/tahun menjadi 6ton/tahun saja (selisih 1,6 ton/ tahun).

*Angka diambil berdasarkan rata-rata emisi karbon per tahun yang dihasilkan per individu


Tentu kasus di atas akan berbeda jika Budi sudah beralih menggunakan sumber daya listrik terbarukan seperti panel surya. Emisi karbon yang dihasilkan Budi tiap tahunnya bisa hampir nol. Sayangnya di Indonesia, sumber daya listrik terbarukan masih kurang digalakan. Seharusnya, sumber daya listrik terbarukan harus digalakan terlebih dahulu, baru lah kita berfokus pada elektrifikasi kendaraan.

Meskipun emisi karbon bisa berkurang dengan penggunaan kendaraan listrik, tetapi selisihnya tidak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan dari deforestasi (penggundulan hutan) untuk memperluas area tambang demi memproduksi baterai kendaraan listrik tersebut. Menurut studi yang dilakukan oleh Global Forest Watch, setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 1 juta hektar hutan, yang menyebabkan emisi sekitar 600 juta ton karbon dioksida.

Isu efisiensi kendaraan listrik dan infrastruktur penunjangnya ini sudah saya bahas lebih detail dan berhasil terbit di laman opini IDN Times 2022.

Mengenal Suku Tobelo: Benteng Terakhir Hutan Halmahera

Anggota Masyarakat Adat Tobelo di hutan Halmahera. (Sumber: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia)

Suku Tobelo sudah eksis sejak abad 17. Bukti keberadaan mereka sudah terlacak sejak era kesultanan Ternate hingga sekarang. Hutan Halmahera adalah rumah bagi mereka selama lebih dari 3 abad.

Kemudian waktu terus berjalan seiring dengan peningkatan populasi. Semakin tinggi populasi, artinya semakin banyak pula pemukiman yang dibutuhkan.

Tahun 1960-an, upaya penyingkiran Masyarakat Adat Tobelo dimulai. Program pemukiman mulai dilaksanakan besar-besaran dan sistematis oleh pemerintah Indonesia. Deforestasi begitu masif sehingga ruang hidup Masyarakat Adat Tobelo semakin menyempit.

Hal ini diperparah dengan stereotip tentang kelompok masyarakat tradisional sebagai suku-suku terasing, terbelakang, primitif, dan animis.

Tahun 1970-an, pemerintah Indonesia berusaha merelokasi Masyarakat Adat Tobelo. Meski imbauan pemerintah tersebut dihargai oleh mereka, tetapi para tetua adat menolak. Siapa yang nanti menjaga sumber air dan hutan? Mereka bersikukuh untuk mempertahankan tradisi dan budaya.

Seumur hidup, mereka melihat hamparan hijau dari berbagai macam vegetasi, buih putih sungai yang jernih, serta langit biru yang terbentang tanpa terlihat pucuk bangunan. Kemudian, ada yang menyuruh mereka pindah ke pemukiman sistemik dan berdekatan dengan masyarakat modern. Apakah mereka akan terima begitu saja?

Dan ironisnya, sumber air dan pangan untuk masyarakat modern di pemukiman modern itu sebagian besar berasal dari hutan yang dijaga oleh Masyarakat Adat selama ratusan tahun lamanya. Sekarang para penjaga sumber penghidupan itu malah di-anaktiri-kan. Bak air susu dibalas air tuba. 

Tidak cukup sampai di situ saja, pemerintah juga mencederai kepercayaan dan budaya Masyarakat Adat Tobelo dengan mengizinkan suatu perusahaan air kemasan beroperasi di Kali Molulu. Padahal, selain sebagai sumber air, Masyarakat Adat Tobelo memiliki ikatan spiritual dengan Kali Molulu. Padi tumbuh subur dari bawah kali tersebut. Air siap minum tersedia melimpah tanpa harus dimasak terlebih dahulu.

Sebenarnya semua tindakan pemerintah adalah untuk kepentingan komunal dan demi kesejahteraan bersama. Namun sayangnya Masyarakat Adat tidak terlalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bahkan dalam beberapa kasus, perjanjian yang dibuat antara Masyarakat Adat dan pemerintah diingkari. Kepercayaan mereka sering kali diciderai.

Tidak ada yang superior dan inferior antara Masyarakat Adat dan Masyarakat Modern. Keduanya tidak bisa berkompetisi dan seharusnya saling berkolaborasi. Masyarakat Adat seharusnya diberikan kebebasan melaksanakan tradisi sembari menjaga alam. Masyarakat Modern dapat berperan dalam pemberian modal dan edukasi mengenai teknik pengelolaan alam yang lebih maju dan efisien. 

Kriminalisasi Masyarakat Adat Tobelo Pasca Ekspansi Tambang Nikel

Aksi Masyarakat Tobelo dalam menolak pertambangan nikel. (Sumber: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia)

Pernah nonton film korea Miracle in Cell No. 7? Film itu mengisahkan seorang ayah tunggal yang mengidap autisme dan memiliki seorang anak kecil perempuan. Sang ayah dipaksa mengakui kejahatan yang tidak pernah diperbuatnya. Dia harus divonis mati akibat tuduhan pembunuhan seorang anak kecil. 

Meskipun cerita film tersebut fiksi, ironisnya fenomena tersebut benar-benar terjadi di dunia nyata. Hal tersebut terjadi lebih sering dan lebih sadis dari yang kita duga, korbannya adalah warga yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan.

Pada 22 Maret 2023, pihak kepolisian di Halmahera Timur menangkap dan menahan seorang Masyarakat Adat bernama Alen Baikole dari Suku Togutil, Tobelo Dalam. Alen diduga telah mengalami penyiksaan saat penangkapan dan interogasi oleh pihak kepolisian di Halmahera Timur. Alen Baikole ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo.

Padahal Alen memiliki alibi jelas yaitu, di waktu pembunuhan, Alen sedang bersama istrinya. Selain itu, warga yang dibunuh pun berasal dari desa yang jauhnya ratusan kilo meter dari desa Alen. Penyidik Polres Halmahera Timur megintimidasi dan memaksa istri Alen yang berinisial Y untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan. Akibatnya, istri dan putri kecil Alen mengalami trauma akan hal ini.

Putri dari Alen Baikole yang melakukan protes atas penangkapan ayahnya. (Sumber: Aman.or.id)

Kasus kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bukan lah yang pertama. Dilansir dari Mongabay, Syamsul Alam, Ketua PPMAN, mengatakan bahwa Alen Baikole, yang ditahan di Polres Halmahera Timur diketahui memiliki fakta-fakta atas dugaan “peradilan sesat” terhadap enam orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam,  pada kasus tudingan pembunuhan sebelum itu.

Hal ini membuat  Masyarakat Adat Tobelo was-was karena tudingan sebagai pembunuh berulang kali ditujukan pada merekaPenangkapan Alen  memberi ruang bagi kepolisian untuk menutupi skenario kriminalisasi yang membungkam kritik Masyarakat Adat Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat mereka. Diketahui bahwa PT. IWIP sudah meminta izin lahan yang cukup luas, tetapi akhir-akhir ini mereka meminta perluasan tambahan lagi kepada pemerintah.

Dampak Lingkungan dari Ekspansi Tambang Nikel di Halmahera

Aktivitas pertambangan yang terhenti setelah demo aksi Masyarakat Adat Tobelo. (Sumber: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia)


Selain dampak sosial budaya seperti yang dijabarkan di atas, ekspansi tambang nikel di Halmahera juga memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Di tengah ambang krisis emisi karbon, Indonesia harus menghadapi tantangan deforestasi.

Melansir dari Mongabay, pada tahun 2019, perusahaan tambang nikel PT Weda Bay telah menghilangkan hutan tropis seluas 7.000 hektar di Halmahera Utara sejak memulai proyek penambangan mereka pada tahun 2015. Deforestasi ini telah memengaruhi keberadaan dan kelangsungan hidup spesies-spesies yang tinggal di dalam hutan seperti burung, primata, dan kadal.

Saat ini telah terdapat puluhan perusahaan tambang yang beroperasi di Halmahera Tengah. Ada empat kecamatan di wilayah tersebut dimana hutan mulai dibabat untuk aktivitas tambang nikel dan pembangunan smelter, yaitu Maba, Maba Tengah, Buli, dan Weda. Ada 66 izin usaha pertambangan yang mencakup 143.000 hektar wilayah, termasuk di kawasan hutan yang dilindungi.

Banjir

Banjir di Halmahera Tengah akibat luapan sungai. (Sumber: AMAN Maluku Utara)


Dampak dari deforestasi masif ini sudah dirasakan oleh warga. Desa-desa di Weda Tengah selalu mengalami banjir sejak 2010. Menurut warga, banjir terparah adalah pada September 2021. Saat itu, air dari sungai besar sekitar Dusun Akelamo, Desa Lelilef Waybulen, dan Desa Lelilef Sawai, meluap ke jalan dan nyaris menenggelamkan rumah-rumah warga.

Daerah-daerah ini kerap menjadi banjir sejak hutan tergerus dalam skala besar, terutama untuk aktivitas pertambangan dan industri. Akibatnya, sejak tahun 2020, banjir selalu terjadi akibat luapan sungai-sungai besar seperti Sungai Kobe, Sungai Ake Sake, dan Ake Wosia.

Padahal dulu, katanya, banjir biasa terjadi 10 tahun sekali. Setelah hutan tergerus akibat aktivitas sejumlah perusahaan tambang, perkampungan mereka mengalami banjir setiap tahun, tidak jauh berbeda dengan Jakarta.

Pencemaran Air

Aruku Ma Ngairi, Kali yang biasa digunakan di Kawasan Tofubleweng. (Sumber: AMAN)


Tambang nikel dapat mencemari air tanah dan permukaan dengan limbah tambang yang mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya seperti merkuri, arsenik, dan asam sulfat. Pencemaran air dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan yang mengonsumsi dan terpapar air tersebut.

Selain IWIP, perusahaan tambang nikel lain seperti Tekindo juga mengeksploitasi di hulu sungai. Sungai-sungai yang jadi sumber kehidupan masyarakat di sejumlah desa seperti Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Waibulen, dan Gemaf tidak bisa lagi dikonsumsi karena tercemar, baik karena lumpur maupun aktivitas pertambangan.

Peran Masyarakat Adat Tobelo dalam Menjaga Hutan

1.    Menerapkan keberlanjutan hutan dengan tradisi lama (Sustainability).

Masyarakat Adat Tobelo sejak dulu tidak pernah menjual panennya. Mereka beranggapan bahwa, jika panen mereka dijual dan ditukar uang, panen akan cepat habis dan mereka harus bertransaksi dengan uang lagi. Mereka lebih memilih menyimpan dan mendistribusi hasil panen dengan adil dan merata. 

Dengan tradisi ini, Masyarakat Adat Tobelo selalu menjaga hutan sebagai sumber penghidupan. Kualitas alam adalah prioritas utama mereka. Berbeda dengan masyarakat modern yang memprioritaskan uang sehingga mengabaikan alam. Berkat Masyarakat Adat Tobelo, hutan Halmahera selalu terjaga keberlanjutannya.

2.    Melakukan pengawasan terhadap hutan

Masyarakat Adat Tobelo secara teratur melakukan pengawasan terhadap hutan di wilayah mereka untuk mencegah tindakan illegal logging dan pembalakan liar yang merusak hutan. 

Aksi mereka tersebut tidak hanya bermanfaat untuk komunitas mereka sendiri, tetapi juga masyarakat lain yang merasakan manfaat hutan. Lagian, illegal logging dan pembalakan liar merupakan sumber emisi karbon yang membahayakan.

3.    Memperlakukan sumber air dengan penuh rasa syukur

Konon dahulu kala, seorang perempuan jatuh tenggelam di Kali Molulu saat dirinya sedang membawa beras panen. Sejak saat itu, padi tumbuh subur dari dalam kali tersebut. Masyarakat memiliki ikatan spiritualitas yang erat dengan Kali Molulu dan menjaganya sepenuh hati, sebagai wujud rasa syukur atas panen yang berlimpah.

Tradisi tersebut bertahan hingga sekarang. Kali Molulu selalu disucikan. Berkat dijaga oleh mereka selama ratusan tahun, Kali Molulu mampu menjadi salah satu sumber air utama di Halmahera. Sampai suatu hari perusahaan air minum kemasan beroperasi di sana dan menurunkan kualitas air bagi Masyarakat Adat Tobelo. Kemurnian air Kali Molulu kini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang membeli produk dari perusahaan tersebut, sementara Masyarakat Adat Tobelo tidak bisa lagi menikmati manfaatnya seperti dulu.

4.    Menggunakan sistem rotasi ladang

Masyarakat Adat Tobelo menggunakan sistem rotasi ladang yang memungkinkan hutan untuk pulih dari penebangan dan menumbuhkan kembali vegetasi sebelum digunakan kembali.

Sistem rotasi ladang Masyarakat Adat Tobelo adalah praktik pertanian tradisional di mana tanah digunakan secara bergantian untuk pertanian dan kemudian dibiarkan pulih untuk jangka waktu yang cukup lama sebelum digunakan kembali. Hal ini dilakukan untuk menghindari degradasi tanah dan menjaga kesuburan tanah.

Menjadi 'Sekutu' bagi Masyarakat Adat

(Sumber: AMAN)


Segala tindak tanduk Masyarakat Adat selama ratusan tahun untuk menjaga kelestarian alam, dibalas oleh masyarakat modern dengan konflik berkepanjangan. Sebenarnya kita berhutang budi kepada mereka. Alih-alih mengintimidasi dan mendiskriminasi, seharusnya kita berkolaborasi bersama ciptakan harmoni. 

Bayangkan kolaborasi apik yang dapat tercipta antara Masyarakat Adat dan Modern:

Masyarakat kota kembangkan cara modern untuk mengadakan pupuk dan obat-obatan. Kemudian, ibu-ibu dari Masyarakat Adat dikerahkan untuk mengumpulkan semak kirinyuh dan sampah-sampah organik. Masyarakat Adat diberikan mesin-mesin pengolah kompos sederhana dengan tenaga kayuh. Kemudian bergotong-royong membangun gubuk yang menyimpan ratusan kilo kompos dan pupuk cair setiap bulannya.

Masyarakat modern memberikan edukasi terkait tanaman apa saja yang harus ditanam untuk menangkal hama, dan ditanam disekeliling ladang. Sehingga pertanian Masyarakat Adat bisa berkembang lebih pesat.

Masyarakat modern juga bisa turut memberikan edukasi tentang tanaman pangan apa yang kaya akan nutrisi dan tak kenal musim, agar selalu tersedia sepanjang tahun. Dengan begini, krisis pangan bisa turut teratasi.

Alih-alih mengotori sungai tanpa solusi, masyarakat modern bisa memberikan edukasi tentang perancangan penampungan air hujan, misalnya dengan disambungkan ke reservoir. Di penampungan itu, ajari mereka untuk menyaring air misalnya menggunakan biji kelor, kerikil, dan ijuk, sehingga tiap tetes air yang dihasilkan bisa layak minum.

Nah kemudian, karena masyarakat modern 'lebih dekat' dengan sumber informasi ter-update, mereka bisa menginformasikan kepada Masyarakat Adat mengenai perkembangan tanaman obat terbaru dan menginstruksikan Masyarakat Adat untuk mengembangbiakannya. Hasil panennya bisa disalurkan ke produsen obat-obatan herbal atau untuk dikonsumsi sendiri. Hal ini bisa jadi tambahan pendapatan bagi kedua belah pihak.

Contoh narasi di atas adalah kolaborasi masyarakat modern dan Masyarakat Adat yang memungkinkan. Kita bisa lebih kreatif lagi menciptakan skema kolaborasi yang apik. Apalagi sekarang kemajuan teknologi sudah sangat pesat, kita bisa memanfaatkannya untuk menggali informasi dan edukasi. Selain itu, jadikan sosial media dan media internet lainnya sebagai amplifier raksasa dan strategis untuk menyalurkan suara Masyarakat Adat ke seluruh negeri.

Komentar