Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Gambar

Muda Mudi Bumi Wajib Tahu: Kebijakan Baru Pemerintah Ini Ternyata Berisiko Tingkatkan Deforestasi

Pexels.com/Anastasia Leyko (edited by: Tamara using Canva)

Frasa 'perubahan iklim' kini sudah berevolusi menjadi 'krisis iklim'. Meskipun isu lingkungan ini sudah sangat sering diusung oleh berbagai pihak di berbagai kesempatan, rupanya masih terdapat beberapa kebijakan terkait penanganan krisis iklim yang perlu dioptimalkan. Di sini lah peran #MudaMudiBumi yang edukatif dan solutif sangat diperlukan.

Kelak, yang akan paling terdampak oleh krisis iklim adalah generasi muda, sehingga generasi muda wajib lebih mawas diri terkait isu lingkungan. Perkaya perspektif kita dengan edukasi mengenai lingkungan, agar solusi andal untuk menanggulangi krisis iklim dapat terlahir. Selain edukatif dan solutif, #MudaMudiBumi juga harus kooperatif, bahu membahu, dan #TeamUpForImpact demi bumi yang lebih baik.

Penyebab Utama Krisis Iklim

Pertama-tama, untuk melahirkan sebuah solusi, tentu kita harus menelisik penyebab utama dari krisis iklim itu sendiri, antara lain:

  1. Pembangkit listrik masih didominasi dengan energi fosil
    PLTU berbasis batu bara jelas masih menjadi kontributor pemasok listrik terbesar di Indonesia. Saat ini, 50% sumber listrik Indonesia masih berasal dari PLTU batu bara (Dirjen Ketenagalistrikan 2022). Faktanya, pembakaran energi fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam) dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca dan emisi karbon dalam jumlah besar dan membentuk #SelimutPolusi.
  2. Sektor industri
    Beberapa sektor industri penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar antara lain: industri semen, industri baja, industri pulp dan kertas, industri tekstil, keramik, pupuk, petrokimia dan industri makanan dan minuman (www.bisnis.tempo.co, diakses pada 16 Oktober 2022). Mesin yang digunakan dalam perindustrian masih beroperasi dengan energi tidak terbarukan seperti minyak dan batu bara. Karena perekonomian negara bertumpu pada sektor perindustrian, skema industri hijau kini masih menjadi PR pemerintah untuk segera direalisasi.
  3. Deforestasi (Penebangan Hutan)
    Hutan merupakan penyedia oksigen alami sekaligus penyerap emisi karbon dioksida. Jika hutan terus menerus ditebang, kapasitas bumi untuk menyerap emisi karbon dioksida akan berkurang, sehingga #SelimutPolusi akan menebal dan udara menjadi tidak layak hirup. Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembabatan hutan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebanyak 3 milyar ton setiap tahunnya.
  4. Transportasi
    Siapa nih yang sering mengeluh macet tetapi masih enggan menggunakan sarana transportasi umum? Padahal bumi kita ini semakin padat penduduk (overpopulated), jalanan semakin dipenuhi riuh kendaraan bermotor, khususnya di kota-kota besar. Faktanya, emisi gas buang dari kendaraan yang kita gunakan sehari-hari berkontribusi besar terhadap meningkatnya #SelimutPolusi lho. Apalagi kendaraan yang digunakan masih berbahan bakar bensin, di mana pembakaran bensin dalam kendaraan akan menghasilkan gas buang yang menciptakan polusi udara.
  5. Peternakan.
    Tahukah kamu bahwa hanya dengan bersendawa dan buang gas, sapi dapat mengeluarkan gas metana (CH4)? Selain itu, urin sapi juga mengandung gas dinitrogen oksida (N2O) yang berbahaya. Baik gas metana maupun gas dinitrogen oksida merupakan 'biang keladi' dari gas rumah kaca. Menurut studi yang dilakukan IPCC, sapi dan hewan ternak lainnya mampu menghasilkan hingga 2 milyar ton emisi gas rumah kaca setiap tahunnya.

Potensi Dampak yang Terjadi jika Perubahan Iklim Tidak Ditanggulangi

Perubahan iklim (climate change) secara global ditandai dengan adanya perubahan suhu dan perubahan pola cuaca jangka panjang di permukaan bumi. 

Menurut Badan Metereologi Dunia, suhu permukaan bumi diprediksikan akan meningkat 1,5°C setiap tahunnya (WMO 2022). Angka tersebut merupakan angka kenaikan temperatur tahunan paling tinggi sepanjang sejarah. Fakta terkait krisis iklim ini mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk memprioritaskan permasalahan iklim dalam agendanya.

Uraian singkat dampak kenaikan suhu (dok. pribadi edited by Tamara using Canva)

Menilisik Kebijakan Baru Pemerintah Terkait Co-Firing yang Memicu Deforestasi

Salah satu agenda pemerintah Indonesia untuk menanggulangi krisis iklim adalah dengan meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan sebanyak 23% pada tahun 2025 atau lebih cepat (EBTKE 2021). Artinya, salah satu langkah konkret yang dilakukan pemerintah adalah menggantikan penggunaan energi fosil, dengan energi yang lebih bersih dan minim emisi seperti energi surya, energi air, biomassa, energi bayu, dan lain-lain.

Nah terkait peningkatan energi terbarukan, PLN sebagai BUMN penyedia sumber energi listrik terbesar di Indonesia, berinisiatif untuk melakukan co-firing alias substitusi batu bara dengan bahan biomassa seperti wood pellet, cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji) pada rasio tertentu demi mengurangi emisi gas buang berbahaya (ESDM 2021). Namun, apakah penggunaan biomassa efektif mengurangi emisi?

Rencananya, pemerintah akan menggantikan 10% batu bara pada PLTU dengan bahan biomassa. Artinya, sumber pembangkit listrik kita yang tadinya 100% berasal dari batu bara, akan diubah menjadi: 90% batu bara + 10% biomassa agar emisi karbon dan emisi gas rumah kaca dapat dikurangi.

Namun, menurut studi terbaru dari Trend Asia, 10,2 juta metrik ton biomassa akan diperlukan setiap tahunnya demi merealisasikan program ini. Artinya, pemerintah perlu membangun 2 juta hektar lahan penanaman akasia dan eucalyptus untuk menghasilkan wood pellet sebagai biomassa campuran batu bara. Sehingga, pembabatan hutan alias deforestasi skala besar akan dilakukan untuk alih fungsi lahan.

"Singkatnya, pemerintah ingin mengurangi emisi dari PLTU dengan melakukan pembabatan hutan untuk menanam biomassa. Bukankah ini seperti menutup masalah dengan masalah baru?"

Deforestasi dengan skala yang sedemikian besar (hampir tiga kali luas Jakarta) akan mengakibatkan menurunnya keanekaragaman hayati dan terganggunya ekosistem yang berakibat fatal bagi lingkungan. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan di Argentina, tanaman eucalyptus ternyata berpotensi mengeluarkan dinitrogen oksida yang merupakan emisi gas rumah kaca (www.sciencedirect.com, diakses 16 Oktober 2022).

Padahal sebenarnya, tingkat deforestasi hutan kita untuk tanaman kelapa sawit sudah sangat mengkhawatirkan, ditambah lagi dengan kebijakan baru pemerintah yang masih kurang solutif dan melahirkan masalah baru. Mengapa dikatakan kurang solutif? 

Menurut studi dari Trend Asia, potensi emisi yang dihasilkan dari aktivitas pembabatan hutan untuk biomassa mencapai 489 juta ton metrik. Hal ini berbanding terbalik dengan tujuan pemerintah yang justru ingin mengurangi 1 juta ton emisi dengan memanfaatkan biomassa. Artinya, jika kebijakan ini direalisasi, pemerintah akan berhasil mengurangi 1 juta ton emisi, tetapi di saat yang sama, juga menambah 489 juta emisi sebagai akibat sampingannya.

Sebenarnya, teknologi penyaringan emisi di PLTU modern saat ini sudah sangat canggih lho, yaitu menggunakan sistem Electrostatic Precipitator yang menyaring 99,60% emisi dari gas buang pembakaran boiler (fly ash). Sehingga gas buangan yang keluar dari cerobong PLTU sebenarnya sudah cukup bersih meski tanpa disubstitusi dengan biomassa. 

Dampak Deforestasi


Uraian singkat dampak deforestasi (dok. pribadi edited by Tamara using Canva)


Hutan meliputi hampir sepertiga dari seluruh daratan di permukaan bumi. Hutan menyediakan 'infrastruktur organik' yang krusial untuk beragam spesies di planet ini. Hutan menyokong kehidupan spesies yang tak terhitung jumlahnya, termasuk diri kita sendiri, tanpa kita sadari.

Jangan sampai kita menyadari bahaya krisis iklim saat sudah terlambat dan terlanjur terdampak, di mana hutan tidak mampu lagi menyokong kehidupan kita, tentu kita tidak dapat bertahan dalam skenario tersebut.

Kisah Sukses Gerakan #TeamUpForImpact Membela Bupati Sorong dari Gugatan Perusahaan Sawit

Mari #TeamUpForImpact Bersama-sama Bertindak Wujudkan Indonesia Minim Polusi

Sadarkah teman-teman betapa kuatnya impact atau pengaruh kita, jika kita berdiri bersama-sama menumpas ketidakadilan alam? 

Mari saya ingatkan kembali terkait kemenangan #MudaMudiBumi dalam membela Bupati Sorong yang mencabut izin tiga perusahaan sawit yang ketahuan menyelewengkan fungsi lahan di Kabupaten Sorong.
dok. change.org


Awalnya, Bupati Johny Kamuru, Putra adat Malamoi digugat karena membela hak masyarakat adat. Tak tanggung-tanggung, tiga perusahaan sekaligus menggugat Bupati Johny ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, Papua. 

Gugatan ini dilayangkan karena Bupati Johny mencabut empat izin lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Sorong. Ketiga perusahaan yang menggugat adalah PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawit Indo.

Tanah seluas 34.400 hektar yang awalnya menjadi lahan konsesi, kini sudah kembali ke masyarakat adat Distrik Salawati, Klamono dan Segun, Papua. Kemenangan ini dihasilkan dari hal yang sangat sederhana. Change.org awalnya menyebarkan petisi secara online melalui media sosial untuk membela Bupati Johnny, kemudian change.org berhasil mengumpulkan lebih dari 40ribu tanda tangan dari seluruh Indonesia. 

Bayangkan! Hanya dengan menandatangani petisi kemudian menyebarkannya, kita dapat turut andil menyelamatkan alam dan penduduk sekitarnya. Kemenangan ini juga berhasil diraih berkat partisipasi organisasi masyarakat yang peduli lingkungan seperti Paritas Institute, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights (AJAR), Elsham Papua, Greenpeace Indonesia, PapuaItuKita, LP3BH Manokwari, Tapol dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Kita dapat melakukan hal yang sama untuk kasus pencemaran polusi lainnya.

Terkadang kita sebagai #MudaMudiBumi sering kali menyepelekan kapasitas dan pengaruh kita terhadap negeri ini. Padahal jika kita mau mengedukasi diri dan bertindak mulai dari hal terkecil seperti membuang sampah pada tempatnya dan mengurangi penggunaan plastik, kita sudah berkontribusi menyelamatkan bumi. Apalagi jika dilakukan bersama-sama, pastinya impact kita akan jauh lebih kuat  untuk bumi kita bersama.

Bukan hanya itu, di era teknologi modern ini, berbagai cara kontribusi #UntukmuBumiku semakin beragam dan semakin mudah. Misalnya, setiap kali kita berbelanja makanan atau minuman melalui aplikasi Grab, akan terdapat opsi untuk menyumbang aksi pengurangan emisi karbon sebesar 200 rupiah per-orderan. Memang terkesan sepele dan murah, tetapi jika dilakukan dengan konsisten dan konsekuen, impact yang dihasilkan akan signifikan. Bukankah segala hal besar sejatinya selalu dimulai dengan sesuatu yang kecil? 

Potensi Kebijakan yang Sesuai untuk Menanggulangi Krisis Iklim

Menurut hemat saya, jika saya diberikan wewenang untuk menciptakan kebijakan baru yang dapat menyelamatkan bumi kita, berikut tindakan dan antisipasi yang akan saya lakukan:
  1. Meningkatkan target bauran energi terbarukan.
    Seperti yang disebutkan di atas, bahwasannya target pemerintah Indonesia untuk bauran energi terbarukan adalah hanya 23% saja di tahun 2025 atau lebih cepat. Target tersebut saya rasa kurang ambisius, sebab jika melihat negara seperti India, yang kondisi geografisnya tidak sekaya Indonesia saja sudah berkomitmen untuk mengganti 50% sumber energinya dengan energi terbarukan (www.Reuters.com, diakses 17 Oktober 2022).
  2. Mewajibkan pengetahuan teknis dan non-teknis tentang energi terbarukan dalam kurikulum perguruan tinggi.
    Di masa mendatang, penggunaan energi terbarukan akan mendominasi dunia, Indonesia tidak terkecuali. Namun, dalam mengoperasikan dan menjaga fasilitas energi baru, dibutuhkan SDM yang mumpuni dan ahli di bidangnya. Kita harus mencetak lulusan sekolah yang melek akan energi hijau. Berikan edukasi terkait panel surya, PLTS off grid, PLTA, PLTB, dan lain-lain, agar Indonesia siap beralih energi dengan SDM ahli yang mampu mengelola fasilitas energi terbarukan. Transisi energi ini otomatis akan menciptakan lapangan kerja baru di bidang engineering, sehingga anak muda Indonesia harus siap bersaing dalam industri energi masa depan.
  3. Menyediakan skema pembiayaan energi terbarukan yang menarik dan murah.
    Bagaimana kita mau menarik pelanggan energi terbarukan jika harganya masih mahal? Bagaimana kita bisa mengurangi emisi karbon jika harga sumber energi kotor masih sangat murah dibandingkan energi bersih? Penduduk Indonesia masih didominasi oleh penduduk berpendapatan menengah ke bawah yang tentunya 'sensitif' dengan harga.

    Jika pemerintah tidak mampu kreatif membentuk skema pembiayaan energi bersih yang murah, Indonesia akan sulit mengejar percepatan energi bersih. Indonesia dapat belajar dari negara-negara di Eropa seperti Perancis, yang mampu menarik investor pendanaan energi bersih, sehingga harga listrik dari energi bersih di sana bisa ditekan menjadi sangat murah.
  4. Memprioritaskan pembangunan PLTS Terapung.
    Di negeri China, Provinsi Anhui, terdapat sebuah PLTS yang mengapung di atas waduk dan mampu memberikan pasokan listrik ke 15.000 rumah. PLTS ini sangat memungkinkan dibangun di Indonesia, karena kondisi geografis Indonesia memungkinkan sinar mataharinya bersinar sepanjang tahun dan dikelilingi sungai dan danau yang luas. Contoh PLTS Terapung yang sudah ada di Indonesia adalah PLTS terapung Cirata.
  5. Pensiunkan PLTU secepat mungkin dengan masa transisi yang tidak begitu lama.
    Teknologi penyaringan emisi di PLTU modern sebenarnya sudah begitu canggih, yaitu menggunakan sistem Electrostatic Precipitator yg menyaring 99,60% emisi dari gas buang pembakaran boiler (fly ash). Sehingga gas buangan yang keluar dari cerobong PLTU sudah cukup bersih. Untuk sampah bottom ash sendiri biasanya menggunakan batu limestone untuk mengikat bahan NOx dan SOx yang merusak lingkungan. Dengan begitu, penerapan co-firing bisa ditiadakan, dan pemerintah dapat fokus mengembangkan energi terbarukan dan infrastrukturnya. Alokasi pendanaan pun akan lebih terarah dan fokus, serta deforestasi untuk alih fungsi lahan penanaman biomassa tidak perlu dilakukan.
  6. Optimalisasi penggunaan waste (limbah) cangkang sawit atau limbah organik lainnya sebagai sumber energi baru.
    Serat dan cangkang yang dihasilkan minyak kelapa sawit secara umum dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Uap yang dihasilkan dapat digunakan untuk menjalankan turbin yang memproduksi listrik (cangkangsawit.id, diakses pada 17 Oktober 2022). Dari dua bahan bakar tersebut saja mampu menghasilkan energi lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di pabrik kelapa sawit. Sehingga, industri manufaktur kelapa sawit, dapat menerapkan skema industri hijau menggunakan biomassa limbah.
    Sumber penulisan: 
https://news.mongabay.com/2022/09/emissions-and-deforestation-set-to-spike-under-indonesias-biomass-transition/
https://www.change.org/p/dukung-bupati-sorong-bela-masyarakat-adat-lawan-perusahaan-kelapa-sawit-di-ptun-jayapura/u/30096265               
https://climate.ec.europa.eu/climate-change/causes-climate-change_en
https://www.youtube.com/watch?v=OVWK0fY-LzY&ab_channel=InfoGatrik
https://bisnis.tempo.co/read/478703/ini-dia-delapan-industri-penyumbang-emisi-terbesar
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/ar4-wg3-chapter9-1.pdf
https://public.wmo.int/en/media/press-release/wmo-update-5050-chance-of-global-temperature-temporarily-reaching-15%C2%B0c-threshold          
https://www.carbonbrief.org/restricting-global-warming-to-1-5c-could-halve-risk-of-biodiversity-loss/          
https://cangkangsawit.id/bisnis-cangkang-sawit/cangkang-sawit-sebagai-biomassa/
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0378112720310707
  

Komentar